Kamis, 29 Oktober 2009

Lempeng Tektonik (Tectonic Plate)

Menurut teori Lempeng Tektonik, lapisan terluar bumi kita terbuat dari suatu lempengan tipis dan keras yang masing-masing saling bergerak relatif terhadap yang lain. Gerakan ini terjadi secara terus-menerus sejak bumi ini tercipta hingga sekarang. Teori Lempeng Tektonik muncul sejak tahun 1960-an, dan hingga kini teori ini telah berhasil menjelaskan berbagai peristiwa geologis, seperti gempa bumi, tsunami, dan meletusnya gunung berapi, juga tentang bagaimana terbentuknya gunung, benua, dan samudra.

Lempeng tektonik terbentuk oleh kerak benua (continental crust) ataupun kerak samudra (oceanic crust), dan lapisan batuan teratas dari mantel bumi (earth's mantle). Kerak benua dan kerak samudra, beserta lapisan teratas mantel ini dinamakan litosfer. Kepadatan material pada kerak samudra lebih tinggi dibanding kepadatan pada kerak benua. Demikian pula, elemen-elemen zat pada kerak samudra (mafik) lebih berat dibanding elemen-elemen pada kerak benua (felsik).

Di bawah litosfer terdapat lapisan batuan cair yang dinamakan astenosfer. Karena suhu dan tekanan di lapisan astenosfer ini sangat tinggi, batu-batuan di lapisan ini bergerak mengalir seperti cairan (fluid).

Litosfer terpecah ke dalam beberapa lempeng tektonik yang saling bersinggungan satu dengan lainnya. Berikut adalah nama-nama lempeng tektonik yang ada di bumi, dan lokasinya bisa dilihat pada Peta Tektonik.
Lempeng Tektonik
Pasifik Arab
Amerika Utara Philipina
Eurasia Fiji
Afrika Juan de Fuka
Antartika Karibia
Indo-Australia Kokos
Amerika Selatan Nazka
India Skotia
Peta Tektonik
Peta Tektonik yang dibuat berdasarkan kondisi bumi pada abad 20.
Sumber: The Dynamic Earth, USGS
Pergerakan Lempeng (Plate Movement)

Berdasarkan arah pergerakannya, perbatasan antara lempeng tektonik yang satu dengan lainnya (plate boundaries) terbagi dalam 3 jenis, yaitu divergen, konvergen, dan transform. Selain itu ada jenis lain yang cukup kompleks namun jarang, yaitu pertemuan simpang tiga (triple junction) dimana tiga lempeng kerak bertemu.

1. Batas Divergen
divergenTerjadi pada dua lempeng tektonik yang bergerak saling memberai (break apart). Ketika sebuah lempeng tektonik pecah, lapisan litosfer menipis dan terbelah, membentuk batas divergen.

Pada lempeng samudra, proses ini menyebabkan pemekaran dasar laut (seafloor spreading). Sedangkan pada lempeng benua, proses ini menyebabkan terbentuknya lembah retakan (rift valley) akibat adanya celah antara kedua lempeng yang saling menjauh tersebut.

Pematang Tengah-Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) adalah salah satu contoh divergensi yang paling terkenal, membujur dari utara ke selatan di sepanjang Samudra Atlantik, membatasi Benua Eropa dan Afrika dengan Benua Amerika.
2. Batas Konvergen
konvergenTerjadi apabila dua lempeng tektonik tertelan (consumed) ke arah kerak bumi, yang mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain (one slip beneath another).

Wilayah dimana suatu lempeng samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau lempeng samudra lain disebut dengan zona tunjaman (subduction zones). Di zona tunjaman inilah sering terjadi gempa. Pematang gunung-api (volcanic ridges) dan parit samudra (oceanic trenches) juga terbentuk di wilayah ini.
3. Batas Transform
transformTerjadi bila dua lempeng tektonik bergerak saling menggelangsar (slide each other), yaitu bergerak sejajar namun berlawanan arah. Keduanya tidak saling memberai maupun saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal sebagai sesar ubahan-bentuk (transform fault).

*Gambar-gambar diambil dari The Dynamic Earth, USGS.
san andreas fault
Batas transform umumnya berada di dasar laut, namun ada juga yang berada di daratan, salah satunya adalah Sesar San Andreas (San Andreas Fault) di California, USA. Sesar ini merupakan pertemuan antara Lempeng Amerika Utara yang bergerak ke arah tenggara, dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat laut.
Sumber: The Dynamic Earth, USGS
Batas Konvergen

Batas konvergen ada 3 macam, yaitu 1) antara lempeng benua dengan lempeng samudra, 2) antara dua lempeng samudra, dan 3) antara dua lempeng benua.

Konvergen lempeng benua—samudra (Oceanic—Continental)
samudra-benua

Ketika suatu lempeng samudra menunjam ke bawah lempeng benua, lempeng ini masuk ke lapisan astenosfer yang suhunya lebih tinggi, kemudian meleleh. Pada lapisan litosfer tepat di atasnya, terbentuklah deretan gunung berapi (volcanic mountain range). Sementara di dasar laut tepat di bagian terjadi penunjaman, terbentuklah parit samudra (oceanic trench).

Pegunungan Andes di Amerika Selatan adalah salah satu pegunungan yang terbentuk dari proses ini. Pegunungan ini terbentuk dari konvergensi antara Lempeng Nazka dan Lempeng Amerika Selatan.
Konvergen lempeng samudra—samudra (Oceanic—Oceanic)
2 samudra

Salah satu lempeng samudra menunjam ke bawah lempeng samudra lainnya, menyebabkan terbentuknya parit di dasar laut, dan deretan gunung berapi yang pararel terhadap parit tersebut, juga di dasar laut. Puncak sebagian gunung berapi ini ada yang timbul sampai ke permukaan, membentuk gugusan pulau vulkanik (volcanic island chain).

Pulau Aleutian di Alaska adalah salah satu contoh pulau vulkanik dari proses ini. Pulau ini terbentuk dari konvergensi antara Lempeng Pasifik dan Lempeng Amerika Utara.
Konvergen lempeng benua—benua (Continental—Continental)
2 benua

Salah satu lempeng benua menunjam ke bawah lempeng benua lainnya. Karena keduanya adalah lempeng benua, materialnya tidak terlalu padat dan tidak cukup berat untuk tenggelam masuk ke astenosfer dan meleleh. Wilayah di bagian yang bertumbukan mengeras dan menebal, membentuk deretan pegunungan non vulkanik (mountain range).

Pegunungan Himalaya dan Plato Tibet adalah salah satu contoh pegunungan yang terbentuk dari proses ini. Pegunungan ini terbentuk dari konvergensi antara Lempeng India dan Lempeng Eurasia.

*Gambar-gambar diambil dari MSN Encarta Encyclopedia.
Bagaimana Dengan Indonesia?

Negeri kita tercinta berada di dekat batas lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Jenis batas antara kedua lempeng ini adalah konvergen. Lempeng Indo-Australia adalah lempeng yang menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Selain itu di bagian timur, bertemu 3 lempeng tektonik sekaligus, yaitu lempeng Philipina, Pasifik, dan Indo-Australia.
Peta Tektonik Indonesia
Peta Tektonik dan Gunung Berapi di Indonesia. Garis biru melambangkan batas antar lempeng tektonik, dan segitiga merah melambangkan kumpulan gunung berapi.
Sumber: MSN Encarta Encyclopedia

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, subduksi antara dua lempeng menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi dan parit samudra. Demikian pula subduksi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yang tak lain adalah Bukit Barisan di Pulau Sumatra dan deretan gunung berapi di sepanjang Pulau Jawa, Bali dan Lombok, serta parit samudra yang tak lain adalah Parit Jawa (Sunda).

Lempeng tektonik terus bergerak. Suatu saat gerakannya mengalami gesekan atau benturan yang cukup keras. Bila ini terjadi, timbullah gempa dan tsunami, dan meningkatnya kenaikan magma ke permukaan. Jadi, tidak heran bila terjadi gempa yang bersumber dari dasar Samudra Hindia, yang seringkali diikuti dengan tsunami, aktivitas gunung berapi di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa juga turut meningkat.

Fasies gunung api dan aplikasinya


SUTIKNO BRONTO
Pusat Survei Geologi, Jln. Diponegoro 57 Bandung, Indonesia
SARI
Berdasarkan bentuk bentang alam dan asosiasi batuan penyusun, suatu kerucut gunung api komposit
dapat dibagi menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Secara bentang
alam, pembagian tersebut dimulai dari pusat erupsi di bagian puncak, menurun ke arah lereng, kaki,
serta dataran di sekelilingnya. Fasies sentral gunung api dicirikan oleh asosiasi batuan beku intrusi
dangkal, kubah lava, dan batuan ubahan hidrotermal. Fasies proksimal tersusun oleh perselingan
aliran lava dan breksi piroklastika. Fasies medial terutama berupa breksi piroklastika, breksi lahar,
dan konglomerat, sedangkan fasies distal lebih banyak disusun oleh batuan epiklastika berukuran
butir pasir-lempung. Tuf dapat tersebar mulai dari fasies proksimal sampai distal karena berbutir halus
dan ringan. Pembagian fasies gunung api di dalam batuan berumur Tersier atau lebih tua dilakukan
dengan pendekatan inderaja - geomorfologi, stratigrafi batuan gunung api, vulkanologi fi sik, struktur
geologi, serta petrologi - geokimia. Pembagian fasies gunung api ini dapat dimanfaatkan dalam rangka
pencarian sumber baru di bidang mineral dan energi, penataan lingkungan, serta mitigasi bencana
geologi.
Kata kunci: kerucut gunung api komposit, fasies gunung api
ABSTRACT
Based on the nature and rock association, a composite volcanic cone can be divided into
central facies, proximal facies, medial facies and distal facies. Physiographically, those begin
from central eruption at the summit, going down to upper slope, lower slope, and foot plain in the
surrounding area. Central facies is characterized by the presence of subvolcanic intrusions, lava
domes, and hydrothermally altered rocks. Proximal facies consists of alternating lava fl ows and
pyroclastic breccias. Medial fasies mainly is composed of pyroclastic breccias, laharic breccias,
and conglomerates. Whereas, distal facies is dominated by fi ne-grained epiclastic rocks having sand
to clay size. Tuff can be widely distributed from proximal to distal facies due to its fi ne grain and
lightness. Methodological approachs for classifi cation of volcanic facies in Tertiary and older rocks are
remote sensing and geomorphology, volcanic stratigraphy, physical volcanology, structural geology,
and petrology-geochemistry. This volcanic facies division is useful for supporting new discovery on
energy and mineral resources, environmental geology, and geologic hazard mitigation.
Keywords: composite volcanic cone, volcanic facies
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
59
PENDAHULUAN
Di Indonesia, gunung api dan hasil kegiatannya
yang berupa batuan gunung api tersebar melimpah
baik di darat maupun di laut. Berdasarkan umur
geologi, kegiatan gunung api di Indonesia paling
tidak sudah dimulai sejak Zaman Kapur Atas
(Martodjojo, 2003) atau sekitar 76 juta tahun yang
lalu (Ngkoimani, 2005) hingga masa kini. Namun
demikian, sejauh ini para ahli kebumian masih
sangat sedikit yang tertarik untuk mempelajari ilmu
gunung api atau vulkanologi. Hal itu tentunya tidak
terlepas dari pengaruh pendidikan dasar geologi
yang diperolehnya serta atmosfer penelitian yang
60 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
masih kurang mendukung (Bronto, 2003a; Bronto
drr., 2004a). Sebagai akibat lebih lanjut, meskipun
wilayah Indonesia mempunyai banyak gunung
api dan batuannya tersebar luas, sementara tidak
banyak ahli geologi yang mendalaminya, maka
dapat dikatakan bahwa kita tidak menjadi pakar di
daerahnya sendiri. Padahal diyakini, apabila lingkungan
geologi (gunung api) dapat benar-benar
difahami, maka hal itu akan menjadi modal dasar
untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang
ada ataupun penanggulangan terhadap bencana yang
mungkin ditimbulkannya.
Makalah ini ditujukan untuk menunjukkan betapa
pentingnya pemahaman terhadap geologi gunung
api, khususnya fasies gunung api dan berbagai aplikasinya,
baik untuk kepentingan praktis di bidang
sumber daya dan mitigasi bencana, maupun dalam
pengembangan konsep-konsep geologi di Indonesia.
Hal itu dimaksudkan agar penelitian geologi gunung
api semakin berkembang pada masa mendatang.
TERMINOLOGI
Schieferdecker (1959) mendefi nisikan gunung
api (volcano) adalah “a place at the surface of the
earth where magmatic material from the depth
erupts or has erupted in the past, usually forming a
mountain, more or less conical in shape with a crater
in the top” (sebuah tempat di permukaan bumi dimana
bahan magma dari dalam bumi keluar atau sudah
keluar pada masa lampau, biasanya membentuk
suatu gunung, kurang lebih berbentuk kerucut yang
mempunyai kawah di bagian puncaknya). Sementara
itu Macdonald (1972) menyatakan bahwa “volcano
is both the place or opening from which molten rock
or gas, and generally both, issues from the earth’s
interior onto the surface, and the hill or mountain
built up around the opening by accumulation of the
rock material” (gunung api adalah tempat atau bukaan
dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya
keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan,
dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang
kemudian membentuk bukit atau gunung). Dari
dua defi nisi tersebut maka untuk dikatakan sebagai
gunung api harus ada magma yang berupa batuan
pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan bumi
melalui bukaan (kawah). Hasil kegiatan berupa bahan
padat yang teronggokkan di sekeliling lubang
biasanya membentuk bukit atau gunung dan disebut
sebagai batuan gunung api.
Menurut Schieferdecker (1959) fasies ialah “the
sum of the lithological and paleontological characters
exhibit by a deposit at a particular point”
(sejumlah ciri litologi dan paleontologi yang ditunjukkan
oleh suatu endapan pada suatu lokasi tertentu).
Sementara itu litofasies diartikan sebagai “the
collective physical and organic characters found in
any sedimentary rock which indicate environment of
deposition” (sekumpulan ciri fi sik dan organik yang
dijumpai di dalam batuan sedimen yang mengindikasikan
lingkungan pengendapannya; Schieferdecker,
1959). Di dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo
dan Djuhaeni, 1996) fasies adalah aspek fi sika,
kimia, atau biologi suatu endapan dalam kesamaan
waktu. Dua tubuh batuan yang diendapkan pada
waktu yang sama dikatakan berbeda fasies, kalau
kedua batuan tersebut berbeda ciri fi sika, kimia, atau
biologinya. Istilah fasies dan litofasies tersebut lebih
dititikberatkan untuk batuan sedimen. Oleh sebab itu
untuk fasies gunung api perlu dilakukan modifi kasi,
yakni sejumlah ciri litologi batuan gunung api dalam
kesamaan waktu pada suatu lokasi tertentu. Ciri-ciri
litologi dapat menyangkut aspek fi sika, kimia, dan
biologi. Berhubung di dalam batuan gunung api
tidak selalu dijumpai fosil, maka aspek biologi tidak
dijadikan parameter utama.
PEMBAGIAN FASIES GUNUNG API
Secara bentang alam, gunung api yang berbentuk
kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng,
kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman
ini kemudian dikembangkan oleh Williams dan
McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut
gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central
Zone, Proximal Zone, dan Distal Zone. Central Zone
disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung
api, Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng
gunung api, dan Distal Zone sama dengan daerah
kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun
dalam uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut
zone dengan facies, sehingga menjadi Central
Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies.
Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan
oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie
dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok,
Fasies gunung api dan aplikasinya (S. Bronto) 61
yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial
Facies, dan Distal Facies (Gambar 1). Sesuai dengan
batasan fasies gunung api, yakni sejumlah ciri
litologi (fi sika dan kimia) batuan gunung api pada
suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies
gunung api tersebut dapat diidentifi kasi berdasarkan
data:
1. inderaja dan geomorfologi,
2. stratigrafi batuan gunung api,
3. vulkanologi fi sik,
4. struktur geologi, serta
5. petrologi-geokimia.
IDENTIFIKASI BERDASARKAN
INDERAJA DAN GEOMORFOLOGI
Pada umur Kuarter hingga masa kini, bentang
alam gunung api komposit sangat mudah diidentifi -
kasi karena bentuknya berupa kerucut, di puncaknya
terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan
dengan bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya
(Gambar 2). Dari puncak ke arah kaki, sudut lereng
semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran
di sekitar kerucut gunung api tersebut. Untuk pulau
gunung api, bagian puncak dan lereng menyembul
di atas muka air laut sedangkan kaki dan dataran
berada di bawah muka laut (Gambar 3). Namun
berdasarkan penelitian topografi bawah laut, tidak
hanya kaki dan dataran di sekeliling pulau gunung
api, tetapi juga kerucut gunung api bawah laut dapat
diidentifi kasi. Aliran sungai pada kerucut gunung
api di darat dan pulau gunung api mempunyai pola
memancar dari daerah puncak ke kaki dan dataran
di sekitarnya.
Apabila suatu kerucut gunung api di darat atau di
atas muka air laut sudah tidak aktif lagi, maka proses
geomorfologi yang dominan adalah pelapukan dan
erosi, terutama di daerah puncak yang merupakan
daerah timbulan tertinggi. Karena pengaruh litologi
yang beragam di daerah puncak, ada yang keras dan
ada yang lunak, relief daerah puncak menjadi sangat
kasar, tersusun oleh bukit-bukit runcing di antara
lembah-lembah sungai yang terjal dan dalam (Gam-
Gambar 1. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies
sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal
beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie,
1998).
Gambar 2. Pembagian fasies gunung api pada gunung api
aktif masa kini seperti halnya di kerucut komposit Gunung
Merapi, Jawa Tengah. Fasies sentral terletak di bagian puncak
atau pusat erupsi, fasies proksimal pada lereng atas dan
fasies medial di lereng bawah. Fasies distal terletak di kaki
dan dataran di sekeliling gunung api, di antaranya dataran
di latar depan gunung api.
Gambar 3. Pulau Maitara di daerah Ternate, Maluku Utara
sebagai salah satu pulau gunung api Kuarter di mana fasies
distalnya berada di bawah muka air laut.
62 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
bar 4). Sekalipun suatu kerucut gunung api sudah
tererosi cukup lanjut, bagian lereng biasanya masih
memperlihatkan pola sudut lereng yang melandai
ke arah kaki dan berpasang-pasangan menghadap
ke arah bekas puncak. Kemiringan lereng bukit
yang menghadap ke daerah bekas puncak pada
umumnya lebih terjal daripada kemiringan lereng
yang menjauhi daerah puncak (Gambar 5). Dari citra
landsat (Gambar 6 dan Tabel 1) secara utuh dapat
diperlihatkan perbedaaan penampakan bentang alam
kerucut gunung api muda dan yang sudah tererosi,
baik pada tingkat dewasa maupun lanjut, mulai dari
daerah puncak (fasies sentral), lereng atas (fasies
proksimal), lereng bawah (fasies medial), dan kaki
serta dataran (fasies distal).
Gambar 4. Bentang alam fasies sentral gunung api Tersier
Gunung Bungkuk di sebelah barat Ponorogo. Morfologi
kerucut mengindikasikan batuan keras atau tahan erosi,
sedang bentuk lembah ditempati oleh batuan lunak.
Gambar 5. Morfologi lereng-kaki selatan Gunung Jeruk,
yang diperkirakan sebagai fasies sentral-proksimal-medial
gunung api Tersier Ijo-Kukusan di Pegunungan Kulonprogo,
Yogyakarta. Puncak Gunung Ijo dan Gunung Kukusan
terletak di sebelah kanan gambar.
Gambar 6. Citra landsat daerah Bandung dan sekitarnya
yang memperlihatkan bentuk bentang alam kerucut gunung
api muda (misal nomor 1, 2, 4, 8, dan 9) sampai tua (nomor
3, 7, 11, 13, 16, dan 18). Gunung api muda dicirikan oleh
bentuk kerucut yang relatif masih utuh dengan pola aliran
memancar dari pusat erupsi. Semakin tua relief gunung
apinya semakin kasar sebagai akibat erosi yang semakin
lanjut dan aliran sungai cenderung ke pola mendaun. Urutan
nama gunung api di dalam teks.
Tabel 1. Urut-urutan Nama Gunung Api di dalam Gambar 6.
Gunung api tersebut pada umumnya berumur Kuarter, kecuali
G. Sanggabuwana-Jatiluhur (5-2 Ma; Soeria-Atmadja drr.,
1994) dan Soreang (G. Selacau-Paseban, 4 Ma; Sunardi dan
Koesoemadinata, 1999)
Fasies
medial
Fasies proksimal
Fasies
sentral
Cekungan
Bandung
Nomor Nama Gunung Api
1 Papandayan
2 Cikurai
3 Karacak
4 Galunggung
5 Sadakeling
6 Cakrabuwana
7 Kareumbi Tua
8 Kareumbi Muda
9 Tampomas
10 Manglayang
11 Cupunagara
12 Sunda-Tangkubanparahu
13 Sanggabuwana (umur Tersier)
14 Kendeng
15 Patuha
16 Soreang (umur Tersier)
17 Tanjaknangsi
18 Kuda
19 Malabar
20 Wayang-Windu
21 Kamojang
22 Darajat (G. Kendang-G.Guha)
23 Guntur
24 Mandalawangi
1 2
3
4
5
6
8 7
9
10
11
12
13
14 15
16
17
18
19
20
23
24
21
22
Fasies gunung api dan aplikasinya (S. Bronto) 63
IDENTIFIKASI BERDASARKAN
STRATIGRAFI BATUAN GUNUNG API
Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya
magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh sebab
itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku
yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan
terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions)
seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill,
retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes).
Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan
pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa
kini, atau pada gunung api purba yang sudah tererosi
lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai
dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah
merupakan lokasi terbentuknya fl uida hidrotermal,
maka hal itu mengakibatkan terbentuknya batuan
ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi
di fasies sentral ini sangat lanjut, batuan tua
yang mendasari batuan gunung api juga dapat
tersingkap.
Fasies proksimal merupakan kawasan gunung
api yang paling dekat dengan lokasi sumber atau
fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung
api komposit sangat didominasi oleh perselingan
aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat
(Gambar 7 dan 8). Kelompok batuan ini sangat
resistan, sehingga biasanya membentuk timbulan
tertinggi pada gunung api purba. Pada fasies medial,
karena sudah lebih menjauhi lokasi sumber, aliran
lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi
piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi
lahar juga sudah mulai berkembang. Sebagai
daerah pengendapan terjauh dari sumber, fasies
distal didominasi oleh endapan rombakan gunung
api seperti halnya breksi lahar, breksi fluviatil,
konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan
primer gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf.
Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada
kekecualian apabila terjadi letusan besar sehingga
menghasilkan endapan aliran piroklastika atau
endapan longsoran gunung api yang melampar jauh
dari sumbernya. Pada pulau gunung api ataupun
gunung api bawah laut, di dalam fasies distal ini
batuan gunung api dapat berselang-seling dengan
batuan nongunung api, seperti halnya batuan
karbonat. Dari pengamatan di lapangan daerah
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Wonogiri,
fasies medial dan fasies distal gunung api purba
(Tersier) sudah tertutup oleh batuan karbonat.
IDENTIFIKASI BERDASARKAN
VULKANOLOGI FISIK
Secara sedimentologi atau vulkanologi fi sik,
mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal
dapat dirunut perubahan secara bertahap mengenai
tekstur dan struktur sedimen. Tekstur batuan klastika
gunung api menyangkut bentuk butir, ukuran butir,
dan kemas. Karena efek abrasi selama proses transportasi
maka dari fasies proksimal ke fasies distal
bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing -
Gambar 7. Perlapisan aliran lava dan breksi gunung
api Kuarter pada fasies proksimal Gunung Galunggung,
Tasikmalaya-Jawa Barat. Perhatikan bahwa tebal perlapisan
sangat beragam dan sebaran lateralnya juga tidak selalu
menerus, seperti halnya terjadi pada perlapisan kue lapis
(layered cake geology). Fasies sentral di sebelah kiri dan
fasies medial di sebelah kanan gambar. Perlapisan juga
membentuk kemiringan awal (initial dips).
Gambar 8. Perlapisan aliran lava sebagai bagian dari fasies
proksimal gunung api Tersier di Kali Ngalang, Gunungkidul
– Yogyakarta.
64 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
meruncing sampai membundar - sangat membundar.
Ukuran butir juga berubah dari fraksi sangat kasar
- kasar, sedang sampai dengan halus - sangat halus.
Hubungan antara butir fraksi kasar di daerah fasies
proksimal pada umumnya membentuk kemas tertutup,
tetapi kemudian berubah menjadi kemas terbuka
di fasies medial sampai distal. Struktur sedimen,
seperti struktur imbrikasi, silangsiur, antidunes, dan
gores-garis sebagai akibat terlanda seruakan piroklastika
(pyroclastic surges) juga dapat membantu
menentukan arah sumber dan sedimentasi.
Secara geometri, struktur aliran piroklastika,
aliran lahar serta aliran lava dapat juga mendukung
penentuan arah sumber erupsi. Dari pengukuran aliran
lava berstruktur bantal (Gambar 9) di Watuadeg,
diketahui sumber erupsinya terletak lk. 200 m di
sebelah barat Kali Opak (Bronto & Mulyaningsih,
2001). Endapan aliran gravitasi tersebut biasanya
mengalir mengikuti lembah sungai lama, mulai dari
daerah puncak sampai lereng bawah, sementara itu
dari kaki hingga dataran endapan tersebut dapat
menyebar membentuk kipas. Struktur bomb sag
sebagai akibat lontaran balistik bom gunung api dan
jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah
pada waktu terjadi letusan dapat juga membantu
menentukan arah sumber letusan (Gambar 10).
IDENTIFIKASI BERDASARKAN
STRUKTUR GEOLOGI
Lereng kerucut gunung api komposit yang semakin
terjal ke arah puncak atau semakin landai
ke arah kaki disebabkan oleh proses penumpukan
bahan erupsi gunung api itu sendiri. Semakin jauh
dari sumber erupsi atau kawah tumpukan bahan
erupsi semakin tipis sehingga membentuk lereng
yang semakin landai. Konsekuensinya, bahan
piroklastika yang jatuh bebas akan mengendap
mengikuti topografi sebelumnya yang sudah miring.
Perlapisan endapan jatuhan piroklastika membentuk
jurus secara umum berpola konsentris, sedangkan
kemiringannya semakin landai dari fasies proksimal
ke arah fasies distal (Gambar 11). Pengamatan di
lereng atas dan puncak gunung api masa kini, seperti
Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Bromo
di Jawa Timur, memperlihatkan bahwa kemiringan
awal dapat mencapai 35o. Di Gunung Suroloyo, yang
merupakan bagian lereng selatan gunung api purba
Menoreh berumur Tersier, kemiringan perlapisan
batuan gunung api juga mencapai 35o. Kemiringan
awal perlapisan batuan gunung api ini disebut initial
dips atau original dips. Dengan demikian akan
terjadi perubahan secara berangsur kemiringan awal
perlapisan batuan gunung api dari miring terjal di
fasies proksimal sampai miring landai di fasies medial,
atau bahkan merupakan perlapisan horizontal
Gambar 9. Aliran lava basal berstruktur bantal di Kali Opak
– Watuadeg, Berbah, Sleman – Yogyakarta.
Gambar 10. Struktur lontaran balistik bom gunung api
(bomb sag structure) yang berasal dari kawah pada waktu
terjadi letusan. Lontaran bom jatuh miring atau menyudut
terhadap bidang perlapisan endapan tefra yang tertimpanya.
Sebagai akibatnya endapan itu melesak ke bawah, secara
tidak simetri sesuai dengan arah sudut lontaran. Singkapan
ini terletak sekitar 300 m di sebelah timur kawah Gunung
Tangkubanparahu di tepi jalan menuju ke puncak.
Fasies gunung api dan aplikasinya (S. Bronto) 65
di fasies distal. Perlapisan batuan gunung api itu
mempunyai jurus berpola konsentris mengelilingi
fasies pusat gunung api.
Pada saat bergerak ke permukaan, magma mendorong
batuan di atas dan di sampingnya sehingga
terjadi pengungkitan (tilting). Pengungkitan terbesar
terdapat pada daerah puncak/kawah dan lereng atas,
kemudian nilainya menurun ke arah lereng bawah
dan kaki. Penggembungan lereng gunung api sebagai
akibat daya dorong magma ke atas itu disebut
infl asi. Sebaliknya, apabila magma mendingin atau
membeku sehingga volumenya mengecil, atau
magma bergerak kembali ke bawah sehingga lereng
gunung api mengkerut, maka deformasi batuan gunung
api ini disebut defl asi. Pada saat terjadi infl asi
ukuran lingkaran kawah dipaksa membesar dan
karena tersusun oleh batuan yang getas maka bibir
kawah mengalami pecah-pecah membentuk rekahan
berpola radier. Berhubung gerak magma dan erupsi
gunung api terjadi berulang-ulang, maka proses
infl asi-defl asi juga terjadi berkali-kali. Karena efek
gaya berat dan keragaman sifat fi sik batuan, rekahan
radier itu dapat berkembang menjadi sesar normal
di daerah puncak dan lereng atas.
Selanjutnya karena kombinasi efek gravitasi dan
topografi lereng, blok-blok sesar turun di daerah
puncak dan lereng atas dapat melengser membentuk
sesar miring (turun-geser) pada lereng bawah.
Sementara itu di daerah kaki, efek daya dorong sebagai
akibat pelengseran massa batuan yang berasal
dari puncak dan lereng jauh lebih kuat dari gaya
gravitasi sehingga terbentuk sesar geser. Akhirnya
di daerah dataran, daya dorong pelengseran menimbulkan
gaya lateral sehingga dapat mengakibatkan
terbentuknya sesar naik dan struktur perlipatan yang
berpola konsentris mengelilingi kerucut gunung api
(Bronto drr., 2004a).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada
fasies pusat dan fasies proksimal struktur geologi
yang berkembang adalah sesar normal berpola
radier, di fasies medial terbentuk sesar miring sampai
sesar geser yang juga berpola radier. Sementara itu
di fasies distal dapat terjadi sesar naik dan struktur
perlipatan yang berpola konsentris. Pola struktur
geologi yang diperkirakan sebagai akibat proses
magmatisme dan volkanisme dapat dicontohkan terjadi
di daerah Gunung Ijo, Pegunungan Kulonprogo
(Rahardjo drr., 1977) dan kaki utara-timur Gunung
Slamet (Djuri drr., 1996).
IDENTIFIKASI BERDASARKAN
PETROLOGI-GEOKIMIA
Berdasarkan pandangan geologi sedimenter
selama ini (Bronto drr., 2004a) terdapat dua proses
yang berbeda dan pada umur yang berbeda pula.
Proses pertama adalah sedimentasi batuan gunung
api di dalam suatu cekungan pengendapan, dimana
sumber asal batuan tidak diketahui atau tidak dipersoalkan.
Proses kedua adalah pembentukan magma
di bawah cekungan pengendapan tersebut yang
bergerak ke atas, sehingga menerobos perlapisan
batuan sedimen gunung api di atasnya. Apabila hal
ini yang terjadi maka secara petrologi-geokimia
batuan sedimen gunung api dapat berbeda dengan
batuan beku yang menerobosnya. Selain itu, batuan
sedimen gunung api berumur lebih tua daripada
batuan beku terobosan.
Sebaliknya, mengacu pada pandangan geologi
gunung api, batuan ekstrusi dan batuan intrusi
merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada
lokasi dan umur relatif sama. Oleh sebab itu secara
petrologi-geokimia batuan ekstrusi dan intrusi dapat
dipandang bersumber dari magma yang sama dan
mempunyai afi nitas yang sama pula (co-magmatic
atau coherent). Penelitian di Perbukitan Jiwo, Kecamatan
Bayat, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa
Tengah (Bronto drr., 2004b) menunjukkan bahwa
batuan beku intrusi gabro mikro mempunyai komposisi
mineral dan kimia yang sama dengan batuan
ekstrusi aliran lava basal berstruktur bantal di dekat-
Gambar 11. Sketsa jurus dan kemiringan awal perlapisan
batuan gunungapi yang berpola konsentris dan melandai
menjauhi kawah gunung api.
66 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
nya. Perbedaan hanya pada kehadiran gelas gunung
api yang semakin menonjol di dalam lava basal.
Hal itu memberikan gambaran bahwa batuan beku
intrusi dan ekstrusi tersebut mempunyai afi nitas
yang sama sebagai satu kesatuan proses magmatisme
dan vulkanisme. Keragaman komposisi sebagai
akibat proses diferensiasi, misalnya terbentuk
basal, andesit basal, andesit, dan dasit, dapat saja
terjadi, tetapi semuanya berasal dari magma induk
yang sama (Bronto, 2002). Apabila di dalam dapur
magma gunung api terjadi percampuran dua magma
yang berbeda sumber, maka hal inipun masih dapat
teridentifi kasi baik di dalam batuan intrusi maupun
batuan ekstrusi.
APLIKASI DI BIDANG MINERAL
Penelitian fasies gunung api dapat dimanfaatkan
untuk pencarian sumber baru mineralisasi logam
sulfi da berdasarkan konsep pusat erupsi gunung
api sebagai strategi untuk penelitian emas (Volcanic
Center Concept for Gold Exploration Strategy,
Bronto & Hartono, 2003; Bronto, 2003b). Interaksi
antara gas asam, unsur logam, dan pancaran panas
dari magma dengan air meteorik di dalam konduit
gunung api membentuk fl uida hidrotermal yang pada
akhirnya menghasilkan batuan ubahan dan mineralisasi.
Konduit atau istilah lain diatrema, vent dan
korok gunung api terletak di bawah kawah dan di
atas dapur magma. Ini berarti bahwa endapan mineralisasi
terdapat di dalam fasies pusat gunung api.
Oleh sebab itu dalam rangka pencarian sumber baru
mineralisasi maka sebagai langkah pertama adalah
dengan mencari fasies pusat gunung api purba.
Tindakan ini sudah penulis laksanakan sehingga
berhasil menemukan sumber baru mineralisasi di
daerah Cupunagara, Kabupaten Subang, Propinsi
Jawa Barat (Bronto drr., 2004c).
Apabila dicermati, hampir seluruh kawasan
pertambangan emas dan logam sulfi da lainnya terletak
di dalam fasies pusat gunung api, mulai dari
Grasberg di Papua (e.g. Coutts drr., 1999), Totopo
Barat di Sulawesi Utara (Santos drr., 1999), Kelian
di Kalimantan (e.g. Davies drr., 1999) dan Pongkor
di Jawa Barat (e.g. Milesi drr., 1999; Hartono &
Bronto, 2005). Permasalahan umum adalah para
peneliti biasanya kurang tertarik untuk mendalami
lingkungan geologi gunung api dalam kaitannya
dengan pembentukan cebakan emas.
Lebih lanjut berdasarkan analisis radiometri,
batuan gunung api pada suatu kawasan mempunyai
umur yang berbeda-beda. Sebagai contoh batuan
gunung api di daerah Bayah, Formasi Cikotok berumur
Paleogen, Tuf Citorek berumur Neogen dan
di sekelilingnya terdapat batuan gunung api Kuarter
(Sujatmiko & Santosa, 1992). Di daerah Cupunagara
batuan gunung api ditemukan mulai dari umur 59
juta tahun yang lalu sampai dengan 1,4 juta tahun
yang lalu (Bronto drr., 2004c; Utoyo drr., 2004). Di
Pegunungan Kulon Progo batuan gunung api berumur
76 juta tahun yang lalu hingga 12 juta tahun
yang lalu (Ngkoimani, 2005; Soeria-Atmadja drr.,
1994; Akmaluddin drr., 2005). Di daerah Pacitan
batuan gunung api berumur 42,7 juta tahun yang lalu
sampai dengan 8,94 juta tahun yang lalu (Soeria-Atmadja
drr., 1994). Data tersebut menunjukkan bahwa
magmatisme dan vulkanisme terjadi berulang-ulang,
dan tidak menutup kemungkinan hal itu juga diikuti
oleh proses alterasi hidrotermal serta mineralisasi.
Apabila hal itu benar maka diperkirakan pengkayaan
mineralisasi dapat terjadi di daerah tersebut.
APLIKASI DI BIDANG LINGKUNGAN DAN
KEBENCANAAN
Kawasan gunung api, yang pada umumnya
berupa daerah tinggian, merupakan daerah tangkapan
sekaligus resapan air hujan yang sangat baik.
Dalam rangka pengelolaan sumber daya air tanah
perlu diketahui karakter aliran air bawah permukaan
yang dimulai dari fasies sentral dan fasies proksimal
menuju ke fasies medial dan fasies distal. Di sinilah
perlunya melakukan penelitian, identifi kasi dan
pemetaan terhadap wilayah yang termasuk di dalam
fasies gunung api tersebut. Wilayah fasies sentral
dan proksimal seyogyanya dilestarikan sebagai
daerah tangkapan dan resapan air hujan, sedangkan
pemanfaatan air tanah dilakukan di fasies medial
atau bahkan di fasies distal.
Dalam rangka pembangunan pemukiman di kawasan
Dago Pakar pada awal tahun 1980-an dilakukan
penelitian geohidrologi di daerah Bandung Utara
(Hartono, 1980). Berdasarkan bentuk bentang alam
dan prinsip stratigrafi kue lapis air hujan yang jatuh
di kawasan Dago Pakar yang tersusun oleh batuan
gunung api Formasi Cikapundung akan meresap
Fasies gunung api dan aplikasinya (S. Bronto) 67
dan mengalir mengikuti bidang perlapisan dengan
kemiringan sekitar 20o ke selatan (Sampurno, 1981).
Air hujan tersebut akan membentuk air tanah dalam
(kedalaman > 200 m) di bawah dataran Bandung.
Dengan demikian pembangunan pemukiman di
kawasan Dago Pakar tidak akan berpengaruh terhadap
suplai air permukaan dan air tanah dangkal
di dataran Bandung.
Namun perlu dicermati bahwa batuan Formasi
Cikapundung tersusun oleh perlapisan tidak menerus
dari lidah lava, breksi, dan tuf seperti dilaporkan
oleh Sampurno drr. (2004). Asosiasi batuan tersebut
mencerminkan fasies proksimal-medial dari kompleks
gunung api Sunda bagian selatan tenggara.
Seperti dicontohkan pada Gambar 7, perlapisan
aliran lava, breksi, dan bahan klastika gunung api
lainnya tidak menerus seperti halnya pada perlapisan
endapan kue lapis. Sedimentasi endapan aliran
gravitasi seperti aliran lava, aliran piroklastika, dan
lahar bersifat sektoral, mengikuti alur-alur sungai
purba. Endapan yang dapat menerus tersebar luas
hanya jenis jatuhan piroklastika (tuf jatuhan), tetapi
karena endapan ini berada di lingkungan darat dimana
proses erosi dan sedimentasi silih berganti,
maka hal tersebut menyebabkan tuf jatuhan itu juga
tidak dapat sepenuhnya menerus seperti endapan
di lingkungan laut. Lebih dari itu, endapan jatuhan
piroklastika di lingkungan darat biasanya mempunyai
jurus dan kemiringan orisinal yang mengikuti
topografi sebelumnya, yakni melandai dari fasies
proksimal ke fasies medial. Hal ini terbukti pada
pengukuran lapisan endapan gunung api di Dago
Utara yang hanya menunjukkan kemiringan sekitar
5-7o (Sampurno drr., 2004), jauh lebih kecil dari
20o.
Dengan demikian batuan gunung api di dalam
fasies proksimal-medial tersebut dapat disetarakan
dengan endapan di dalam sungai teranyam atau
berstruktur silang-siur (Bronto & Hartono, 2006),
atau kemiringan lapisan batuan yang semakin landai
ke arah selatan. Konsekuensi pemikiran ini adalah
air yang jatuh di kawasan Dago Pakar sampai Sesar
Lembang, selain dapat menjadi air tanah dalam, juga
mensuplai air tanah dangkal atau bahkan air permukaan
di dataran Bandung. Jika hal itu benar, maka
berkembangnya pembangunan pemukiman yang
dimulai dari Jalan Babakan Siliwangi-Punclut dan
Dago Pakar di sebelah barat sampai dengan lereng
selatan Gunung Manglayang di sebelah timur dapat
berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas suplai
air tanah dangkal dan air permukaan di dataran
Bandung.
Berdasarkan pengamatan terhadap proses dan
produk erupsi gunung api aktif masa kini, maka
jenis bahaya gunung api pada setiap fasies gunung
api dapat diperkirakan. Di dalam fasies sentral dan
proksimal gunung api, jenis bahaya yang dapat
terjadi adalah lontaran batu pijar (bom/blok gunung
api), hujan abu, gas beracun, awan panas (aliran
piroklastika), aliran lava, dan guguran kubah lava.
Pada fasies medial jenis bahaya gunung api adalah
awan panas, hujan abu, aliran lahar, sedangkan
bahaya pada fasies distal berupa hujan abu, aliran
lahar, dan banjir. Informasi ini sangat penting dalam
rangka menyusun peta kawasan rawan bencana
gunung api yang mempunyai potensi untuk meletus
pada masa mendatang, sekaligus penataan lingkungan
hidup di wilayah tersebut (Bronto, 1992; 1994;
1995; 2000, 2001).
PENGEMBANGAN KONSEP GEOLOGI
Beberapa penulis terdahulu (Martodjojo, 2003;
Soeria-Atmadja drr., 1994) menyatakan bahwa di
Jawa telah terjadi perpindahan busur magma Tersier
dan Kuarter sebagai akibat perubahan lokasi jalur
penunjaman kerak bumi. Menurut Martodjojo (2003)
pada umur Kapur - Awal Eosen jalur magma berada
di utara Jawa Barat dan daratan Jawa sekarang, terutama
daerah Cekungan Bogor merupakan cekungan
busur depan. Dari Eosen Akhir - Oligosen tidak ada
proses magmatisme dan volkanisme di Jawa Barat.
Selanjutnya pada Miosen Awal jalur gunung api
berada di selatan Jawa Barat. Sementara itu Soeria-
Atmadja drr. (1994) melaporkan adanya perubahan
busur magma Tersier di sepanjang Pulau Jawa.
Busur magma Eosen Akhir-Miosen Awal terdapat di
bagian selatan Pulau Jawa, sedangkan busur magma
Miosen Akhir-Pliosen terletak di sebelah utaranya,
berhimpitan dengan busur magma Kuarter.
Namun demikian, dari penelitian penulis mengenai
fosil gunung api Tersier di Jawa Barat (Bronto,
2003c) dan umur radiometri (Bronto drr., 2004c;
Bronto drr., 2005) serta Sunardi dan Koesoemadinata
(1999) ditemukan adanya batuan gunung api berumur
Paleogen dan Neogen yang terletak di bawah
sebaran batuan gunung api Kuarter. Ini berarti telah
68 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
terjadi tumpang-tindih kegiatan gunung api di Jawa,
paling tidak sejak Tersier Bawah hingga masa kini.
Perpindahan titik erupsi gunung api di permukaan
tidak disebabkan oleh perubahan zone subduksi,
tetapi mungkin karena dalam pergerakannya ke permukaan
magma hanya mencari tempat-tempat lemah
untuk dilalui. Terjadinya tumpang-tindih kegiatan
gunung api tersebut melahirkan Konsep Gunung
Api Tumpang Tindih (The Concept of Superimposed
volcanisms; Bronto drr., 2005; Bronto drr., 2006).
Selama ini banyak literatur yang menggambarkan
busur gunung api sebagai suatu garis lengkung
yang tipis, sehingga hanya terisi kerucut gunung api
dan tidak memungkinkan terbentuknya cekungan
sedimentasi di dalamnya. Namun kenyataannya,
secara regional busur gunung api merupakan zone
yang cukup lebar yang mana di dalamnya terdapat
beberapa kerucut gunung api dan di antaranya
terbentuk cekungan sedimentasi. Sebagai contoh
di Jawa Barat, gunung api masa kini yang terletak
di paling selatan adalah Gunung Papandayan; di
bagian tengah Gunung Guntur, Gunung Malabar,
dan Gunung Patuha; sedang di bagian utara terdapat
Gunung Tangkubanparahu, Gunung Tampomas, dan
Gunung Ciremai. Di antara kerucut gunung api tersebut
terdapat Cekungan Garut, Cekungan Bandung,
dan Cekungan Cianjur. Busur gunung api Tersier
juga diperkirakan merupakan zone yang melebar
dari utara ke selatan. Hal itu ditunjukkan dengan
ditemukannya beberapa fosil gunung api Tersier di
tepi selatan Jawa Barat dan daerah Purwakarta, Subang
sampai Kadipaten - Majalengka di Jawa Barat
bagian utara (Bronto, 2003c). Secara analogis dengan
kondisi masa kini maka diperkirakan di antara
kerucut gunung api Tersier juga terdapat cekungan
sedimentasi. Pemikiran ini melahirkan Konsep
Cekungan di dalam Busur Gunung Api (The Concept
of Intra-Arc Basins, Gambar 12; Bronto 2003c;
Bronto drr., 2006). Waktu pengendapan mempunyai
umur yang sama dengan kegiatan gunung api. Hal
ini dapat dicermati di dalam peta geologi yang
diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi (sekarang bernama Pusat Survei Geologi,
Bandung, e.g. Sujatmiko dan Santosa, 1992; Kastowo
dan Suwarna, 1996) dimana satuan-satuan
batuan gunung api mempunyai umur yang sama
dengan satuan batuan sedimen di dekatnya.
Cekungan sedimentasi di dalam busur gunung
api Tersier pada waktu itu mungkin sebagian berupa
laut. Cekungan tersebut tidak hanya dikelilingi
oleh gunung api pada masa itu, tetapi tidak menutup
kemungkinan terdapat tinggian batuan tua,
apakah batuan gunung api yang lebih tua, batuan
sedimen, batuan beku intrusi atau bahkan batuan
metamorf. Batuan tersebut mengalami pengerjaan
ulang sehingga sedimen epiklastikanya masuk ke
dalam cekungan. Di dalam cekungan itu sendiri
bisa saja terbentuk gunung api bawah laut atau
pulau gunung api dan sedimen hasil proses biologi
dan kimia (Gambar 13). Dengan demikian batuan
yang terbentuk di dalam cekungan dan dalam waktu
yang bersamaan dapat berasal dari berbagai sumber,
sehingga analisis ini memunculkan Konsep Cekungan
Salome (The Concept of Salome Basins; Bronto
2003a; Bronto drr., 2006). Terbentuknya cekungan di
dalam busur gunung api yang merupakan Cekungan
Salome mendorong kita untuk melakukan penelitian
lebih lanjut, terutama dalam kaitannya dengan penataan
stratigrafi dan evaluasi dinamika cekungan
serta dalam rangka pencarian sumber baru mineral
dan energi di dalam busur gunung api.
Gambar 12. Cekungan di dalam busur gunung api (intraarc
basins), yang terbentuk di antara kerucut gunung api di
dalam zone busur gunung api. Dibanding dengan cekungan
busur muka (fore arc basin) dan cekungan busur belakang
(back arc basin), maka cekungan di dalam busur gunung
api relatif lebih kecil tetapi banyak; proses sedimentasi,
aktivitas tektonika, magmatisme dan vulkanisme sangat
aktif, melibatkan berbagai kondisi lingkungan pengendapan,
terutama mulai dari laut dangkal sampai darat kering (Bronto
drr., 2006).
Fasies gunung api dan aplikasinya (S. Bronto) 69
KESIMPULAN
1. Fasies gunung api terdiri atas fasies sentral,
fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal.
Pada gunung api muda, berumur Kuarter - masa kini,
pembagian fasiesnya relatif mudah karena didukung
oleh bentuk bentang alam berupa kerucut komposit
yang masih sangat jelas. Fasies sentral terletak di
daerah puncak, fasies proksimal di lereng atas, fasies
medial di lereng bawah, dan fasies distal berada di
kaki dan dataran di sekelilingnya.
2. Untuk gunung api purba, berumur Tersier
atau lebih tua, dimana bentuk kerucut kompositnya
sudah tidak jelas, identifi kasi fasies gunung api perlu
diteliti berdasarkan pada pendekatan analisis inderaja-
geomorfologi, stratigrafi batuan gunung api,
vulkanologi fi sik, struktur geologi, serta petrologigeokimia.
3. Pembagian fasies gunung api dapat dimanfaatkan
untuk mendukung pencarian sumber baru
mineral dan energi, penataan lingkungan hidup
termasuk tata ruang dan penyediaan air bersih,
serta mendukung usaha penanggulangan bencana
geologi.
Ucapan Terima Kasih---Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Sdr. Rusabdisalam dan Gendoet Hartono, ST MT,
yang telah membantu menyiapkan komputerisasi gambar.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Pengurus Jurusan
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
yang telah mengundang penulis untuk memberikan kuliah
tamu sesuai dengan judul makalah ini pada 8 Maret 2006
di Yogyakarta.
ACUAN
Akmaluddin, D.L. Setijadji, Watanabe, K., dan Itaya, T.,
2005. New interpretation on magmatic belts evolution
during the Neogene-Quaternary periods as revealed
from newly collected K-Ar ages from Central-East Java
– Indonesia. Joint Convention IAGI-HAGI-PERHAPI,
Nov. 28-30, 2005, Surabaya.
Bogie, I. dan Mackenzie, K.M., 1998. The application of
a volcanic facies models to an andesitic stratovolcano
hosted geothermal system at Wayang Windu, Java,
Indonesia. Proceedings of 20th NZ Geothermal Workshop,
h.265-276.
Bronto, S., 1992. Volcanoes and their volcanic hazard map
preparations. Prosiding EMNHD-2, Yogyakarta, V.3,
h.1-13.
Bronto, S., 1994. Erupsi gunungapi, bahaya dan
Gambar 13. Sedimentasi di dalam Cekungan Salome, sebagai bagian dari cekungan di dalam busur gunung api. Sumber
material berasal dari pengerjaan ulang batuan tua (proses epiklastika, membentuk batuan silisiklastika), proses biologi dan
kimia yang membentuk batuan sedimen klastika dan non klastika, serta kegiatan gunung api bawah laut (submarine volcano),
pulau gunung api (island volcano) dan gunung api di darat (on land volcano) yang membentuk batuan beku koheren dan
batuan klastika gunung api.
70 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
penanggulangannya. Simposium Nasional Mitigasi
Bencana Alam, Universitas Gadjah Mada, 16-17
September, Yogyakarta, 20h.
Bronto, S., 1995. Prediksi geologi dan penyajian informasi
potensi bencana gunungapi khususnya bagi pengembangan
wilayah pemukiman dan pariwisata. Seminar Nasional
Informasi Geologi dalam pengembangan tata ruang kota
dan wilayah, ITB, Nov., Bandung, 18h.
Bronto, S., 2000. Volcanic hazard assessment of Krakatau
volcano, Sunda Strait Indonesia. Buletin Geologi Tata
Lingkungan, 2, h.20-29.
Bronto, S., 2001. Penilaian Potensi Bahaya G. Galunggung
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Alami: Jurnal, Air,
Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana, 6, BPPT,
Jakarta, h.1-13.
Bronto, S., 2002. Differention Process in the 1982-83
Galunggung Eruptive Products. Bulletin Geological
Research and Development Centre, no. 22, Juli 2002,
h.85-101.
Bronto, S. 2003a. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi
Gunungapi. Majalah Geologi Indonesia, 18, h.23-37.
Bronto, S., 2003b. Penelitian Sumber Daya Energi dan
Mineral Berbasis Ilmu Gunung api. Majalah Mineral &
Energi, 1, h.24-26.
Bronto, S., 2003c. Gunungapi Tersier Jawa Barat: Identifi kasi
dan Implikasinya. Majalah Geologi Indonesia, 18,
h.111-135.
Bronto, S., Achnan, K., Kartawa, W., Dirk, M.H., Utoyo, H.,
Subandrio, J., dan Lumbanbatu, K., 2004c. Penelitian
Awal Mineralisasi di Daerah Cupunagara, Kabupaten
Subang – Jawa Barat. Majalah Geologi Indonesia, 19,
h.12-30.
Bronto, S., Bijaksana, S., Sanyoto, P., Ngkoimani, L.O.,
Hartono, G., dan Mulyaningsih, S., 2005. Tinjauan
Volkanisme Paleogene Jawa. Majalah Geologi Indonesia,
20, h.195-204.
Bronto, S., Budiadi, Ev., dan Hartono, H.G., 2004a.
Permasalahan Geologi Gunungapi di Indonesia. Majalah
Geologi Indonesia, 9, h.91-105.
Bronto, S., Budiadi, Ev., dan Hartono, H.G., 2006. A new
perspective of Java Cenozoic volcanic arcs. Proceedings
The Jakarta International Geoscience Conference And
Exhibition, Agustus h.14-16, 2006 (in press).
Bronto, S. dan Hartono U., 2003. Strategi Penelitian Emas
Berdasar Konsep Pusat Gunungapi. Prosiding Koloqium.
ESDM 2002, 13-14 Jan. 2003, P3TekMira, Bandung,
h.172-189.
Bronto, S. dan Hartono, U., 2006. Potensi sumber daya
geologi di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya.
Jurnal Geologi Indonesia, 1, h.9-18.
Bronto, S., Hartono, G., dan Astuti, B., 2004b. Hubungan
genesa antara batuan beku intrusi dan batuan beku
ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten
Jawa Tengah. Majalah Geologi Indonesia, 19, h.147-
163.
Bronto, S., dan Mulyaningsih, S., 2001. Volcanostratigraphic
development from Tertiary to Quaternary: A case study
at Opak River, Watuadeg-Berbah, Yogyakarta, Abstr..
30th Annual Convention IAGI & 10th Geosea Regional
Conggres, Sept. 10-12, 2001, Yogyakarta, 158h.
Coutts, B.P., Susanto, H., Belluz, N., Flint, D., dan Edwards,
A., 1999. Geology of the Deep Ore Zone, Ertsberg East
Skarn System, Irian Jaya. PACRIM ’99, Bali, Indonesia,
10-13 Okt. 1999, h.539-547.
Davies, A.G.S., Crooke, D.R., & Gemmell, J.B., 1999.
Characteristics, Timing and Formation of Diatreme
Breccias at the Kelian Gold, East Kalimantan, Indonesia.
PACRIM’99, Bali, Indonesia, 10-13 Okt. 1999, h.81-
90.
Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C., dan Gafoer, S., 1996.
Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa, skala
1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
Hartono, D., 1980. The Geology of Bandung Depression and
The Distribution of Aquifers. Tesis S1, Dept. of Geology,
ITB, Indonesia, 136h.
Hartono, U. dan Bronto, S., 2005. Penentuan posisi
mineralisasi Au Gunung Pongkor pada fasies gunung api
purba daerah Bogor, Jawa Barat. Joint Convention IAGIHAGI-
PERHAPI, Nov. 28-30, 2005, Surabaya.
Kastowo dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar
Majenang, Jawa, skala 1:100.000, ed. ke-2. Puslitbang
Geologi, Bandung.
Macdonald, G.A., 1972. Volcanoes. Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey, 510h.
Martodjojo, S., 2003. Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat.
Penerbit ITB, Bandung, 238h.
Martodjojo, S. dan Djuhaeni, 1996. Sandi Stratigrafi
Indonesia. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia IAGI,
Jakarta, 25h.
Milesi, J.P., Marcoux, E., Sitorus, T., Simanjuntak, M., Leroy,
J., dan Bailly, L., 1999. Pongkor (West Java, Indonesia):
a Pliocene supergene-enriched epithermal Au-Ag-(Mn)
deposit. Mineralium Deposita, 34, h.131-149.
Ngkoimani, L.O., 2005. Magnetisasi pada batuan andesit di
pulau Jawa serta implikasinya terhadap paleomagnetisme
dan evolusi tektonik. Disertasi S3, ITB, 110h.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H.M., 1977. Peta
Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1:100.000.
Direktorat Geologi, Bandung.
Sampurno, 1981. Geologi Bandung Utara dan Peranannya. Di
dalam Sampurno, 2004, Kilas Balik Pelangi Kehidupan
Sampurno. Kumpulan Kliping Artikel Koran dan
Majalah 1976-2002, Purnabakti 70 tahun Sampurno,
Desember 2004, h.17-24.
Sampurno, 2004. Percobaan analisis mengenai hubungan
antara geologi cekungan Bandung Raya dengan potensi
serta kendala pembangunan. Di dalam Sampurno, 2004,
Jejak Langkah Geologi dari Borobudur hingga Punclut,
Kumpulan Karya Tulis Purnabakti 70 tahun Sampurno,
Desember 2004, h.107-124.
Sampurno, Bandono, dan Deny, J.P., 2004. Studi kawasan
Punclut di Kabupaten/Kodya Bandung dari Segi aspek
geologi lingkungan. Di dalam sampurno, 2004, Jejak
Langkah Geologi dari Borobudur hingga Punclut.
Fasies gunung api dan aplikasinya (S. Bronto) 71
Kumpulan Karya Tulis Purnabakti 70 tahun Sampurno,
Desember 2004, h.125-155.
Santos, F.R., Sulistiono, P., dan Litaay, N.E.W., 1999. Totopo
West, a low sulphidation epithermal system in North
Sulawesi. Proceedings The 28th Annual Convention IAGI,
30 Nov.-1 Des. 1999, Jakarta, h.203-215.
Schieferdecker, A.A.G. (Ed.), 1959. Geological Nomenclature.
Royal Geol. And Minings Soc. Of the Netherlands, J.
Noorduijn en Zoon N.V., Gorinchem, 523h.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro,
H., dan Priadi, B., 1994. Tertiary magmatic belts in
Java. Journal of South East Asian Earth Sciences, 9,
h.13-12.
Sujatmiko dan Santosa, S., 1992. Peta Geologi Lembar
Leuwidamar, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi,
Bandung.
Sunardi, E. dan Koesoemadinata, R.P., 1999. New K-Ar Ages
and the Magmatic Evolution of the Sunda-Tangkuban
Perahu Volcano Complex Formation, West Java,
Indonesia. Proceedings The 28th Annual Convention
IAGI, 30 Nov.-1 Des. 1999, Jakarta, h.63-71.
Utoyo, H., Dirk, M.H.J., Bronto, S., dan Lumbanbatu, K.,
2004. K-Ar age of volcanic in Cupunagara, Subang,
West-Java. Proceedings of 33rd Annual Convention
and Exhibition 2004, IAGI, Bandung, 29 Nov. – 1 Des.
2004, h.81-87.
Vessels, R.K. dan Davies, D.K., 1981. Non Marine
Sedimentation in an Active Fire Arc Basin, in F.G.
Etridge & R.M. Flores (Eds.), Recent and Ancient
Non Marine Depositional Environments: Models for
Exploration. Society of Economic Paleontology, Special
Publication, no. 31.
Williams, H. dan McBirney, A.R., 1979. Volcanology.
Freeman, Cooper, San Francisco, h.135-142.

DEBRIS DEPOSIT

Aliran Debris atau didalam berbagai literature disebut sebagai debris flow merupakan suatu terminologi kolektif dengan cakupan pengertian yang luas terhadap peristiwa pergerakan massa material debris secara gravitasi. Aliran debris merupakan bagian dari peristiwa alam yang sangat merusak dan mengancam kehidupan manusia.Setiap tahun di berbagai wilayah dunia, peristiwa pergerakan massa bahan rombakan (debris) ini telah banyak mencelakakan manusia, merusak berbagai fasilitas dan kekayaan manusia bahkan merusak lingkungan alam. Berbagai kegiatan penelitian maupun studi terhadap peristiwa aliran debris telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan di Eropa, Amerika dan Asia terutama Jepang.
Aliran debris (debris flow) adalah aliran campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur kebawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi. Aliran ini seringkali membawa batu-batu besar dan batang pohon, meluncur kebawah dengan kecepatan tinggi (biasanya masih dibawah kecepatan mudflow) dengan kemampuan daya rusak yang besar terhadap apa saja yang dilaluinya seperti bangunan rumah atau fasilitas lainnya sehingga mengancam kehidupan manusia. Aliran debris tidak terkait langsung dengan letusan gunungapi, namun dapat terjadi di daerah vulkanik maupun non-vulkanik.
Karakteristik aliran debris sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang ditimbulkan. Beberapa ciri aliran debris penyebab besarnya kerusakan yang ditimbulkan antara lain adalah :
Aliran debris mengalir menuruni lembah atau kelerengan dengan kecepatan sangat tinggi. Untuk aliran debris tipe batuan (gravel type debris flow) dengan kandungan batu-batu besar dapat mencapai kecepatan 10 m/dtk, sementara itu aliran debris tipe Lumpur (mudflow type debris flow) dengan kandungan batu sangat sedikit mengalir dengan kecepatan 20 m/dtk.
Aliran debris mengandung batu-batu besar dan seringkali juga membawa batang-batang kayu. Batu besar yang terbawa di bagian depan aliran debris dapat mencapai diameter beberapa meter, sedangkan batang kayu hutan yang terbawa mencapai panjang 10 meter, sehingga bagian depan aliran debris ini akan mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Aliran debris terjadi| secara mendadak dan cepat sekali, tidak dapat diduga sebelumnya karena tanda-tanda awal akan terjadi aliran debris sangat sulit dideteksi. Setelah terjadi baru terdengar suara gemuruh. Hal inilah yang menyulitkan bagi penduduk untuk menghindar dan mengungsi karena sulitnya memberikan peringatan secara dini (early warning sistem), sehingga ketika mengetahui kedatangan aliran debris dan akan menghindar sudah terlambat.
Beberapa kondisi yang mempengaruhi dapat terbentuknya aliran debris adalah :
• Kemiringan dasar lembah atau alur harus lebih curam dari , merupakan kondisi kemiringan untuk dapat terbentuknya aliran debris.
• Tersedia sumber material sedimen di bagian hulu alur, di lereng-lereng atau disekitar puncak gunung sebagai bagian dari bahan pembentuk aliran debris.
• Adanya air, baik air hujan atau air yang lain dalam jumlah yang cukup banyak dan tercurah kedalam alur atau lembah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa debris deposit adalah Suatu pengendapan dari aliran campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur kebawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi. yang seringkali membawa batu-batu besar dan batang pohon, meluncur kebawah dengan kecepatan tinggi (biasanya masih dibawah kecepatan mudflow) dengan kemampuan daya rusak yang besar terhadap apa saja yang dilaluinya,yang terendapkn pada suatu daerah tertentu.

GUNUNG KRAKATAU

Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana yang, karena letusan pada tanggal 26-27 Agustus 1883, kemudian sirna. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.
Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.
Gunung Krakatau Purba
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:

EMAS


Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5 – 3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral ikutan tersebut umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa emas terdiri dari emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan senyawa emas dengan unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium. Elektrum sebenarnya jenis lain dari emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya >20%.

Emas terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian di permukaan. Beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara mekanis menghasilkan endapan letakan (placer). Genesa emas dikatagorikan menjadi dua yaitu endapan primer dan endapan plaser
Emas banyak digunakan sebagai barang perhiasan, cadangan devisa, dll.

Potensi endapan emas terdapat di hampir setiap daerah di Indonesia, seperti di Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

A. Penggolongan Bahan Galian

Sebelum mengupas lebih detil mengenai kegiatan apa saja dalam usaha pertambangan ada baiknya kita harus mengenal terlebih dahulu istilah bahan galian sebagai objek yang diusahakan dalam kegiatan pertambangan. Kita sering mendengar ada bahan galian golongan A, B dan C. Penggolongan bahan galian ini di dasarkan atas fungsi serta perannya dalam kehidupan manusia.

1. Bahan galian golongan A, adalah bahan galian yang mempunyai nilai strategis, yang termasuk bahan galian jenis ini adalah minyak, batubara, uranium yang dapat digunakan sebagai sumber energi.

2. Bahan galian golongan B, adalah bahan galian yang mempunyai nilai vital, jenis bahan galian ini sebagaian besar terdiri dari bahan galian logam seperti, emas, perak, tembaga, besi, mangaan, nikel, seng, timah, timah hitam, aluminium dll.

3 Bahan galian golongan C, adalah bahan galian yang tidak termasuk kedalam golongan A dan B, jenis bahan galian ini termasuk kedalam bahan galian industri, yaitu bahan galian yang digali dan dapat digunakan secara langsung tanpa atau sedikit melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Jenis bahan galian ini seperti pasir, batu bangunan, tanah urug, tanah liat, gamping (kapur), batu apung, tras, kaolin, gypsum, asbes dll.

B. Pertambangan dan karakteristiknya

Berbicara tentang pertambangan perlu kiranya kita mengetahui apa itu pertambangan. Pertambangan adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pekerjaan pencarian, penyelidikan, penambangan, pengolahan, penjualan bahan galian hasil tambang yang memiliki nilai ekonomis. Bahan galian sebagai objek pertambangan memiliki sifat utama diantaranya tidak dapat diperbaharui, keterdapatannya tersebar di permukaan bumi secara tidak merata seperti di hutan, persawahan, di sungai, di bawah laut, di pegunungan sehingga sering menimbulkan masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan. Dalam skala besar usaha pertambangan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Jangka waktu pengusahaan lama, kecuali untuk tambang bahan galian golongan C.

2. Padat modal, sebagai contoh PT. Newmont membutuhkan investasi sebesar USD 1,8 miliard.

3. Padat teknologi, membutuhkan teknlogi tinggi dalam melakukan operasinya.

4. Beresiko tingggi terhadap keselamatan kerja dan lingkungan

C. Tahapan kegiatan dalam pertambangan

Seperti dalam industri-industri lain, dalam kegiatannya industri pertambangan mempunyai tahapan yang sangat rumit. Setiap tahapan saling berhubungan erat dan harus dilakukan secara berurutan, terutama untuk industri pertambangan bahan galian golongan A dan B, tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penyelidikan umum

Adalah kegiatan penyelidikan, pencarian dan atau penemuan enapan mineral-minrela berharga. Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan hanya sebatas pada pemetaan permukaan, penyelidikan geofisika, geokimia, serta pengambilan sample singkapan batuan dalam jmlah yang kecil melalui paritan dan sumur uji dalam ukuran yang kecil untuk mengtahui keberadaan bahan galian. Kegiatan ini tidak membutuhkan pembukaan lahan yang luas dan tidak membutuhkan alat-alat berat.

2. Eksplorasi

Adalah pekerjaan lanjutan setelah penyelidikan umum yaitu setelah ditemukannya endapan bahan galian untuk mengetahui dan mendapatkan ukuran, bentuk, letak (posis), kadar dan jumlah cadangan bahan galian. Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan seperti pengeboran inti dengan kedalaman tertentu untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan bahan galian, pengambilan sample hasil pemboran diperlukan dalam jumlah kecil untuk mengetahui kandungan serta kadar mineral. Dalam kegiatan ini belum membutuhkan pembukaan lahan secara luas, bukaan lahan hanya dilakukan pada setiap pemboran sekitar 50 m2.

3. Studi kelayakan

Adalah studi yang dilakukan untuk menghitung untung atau ruginya apabila kegiatan pertambangan dilakukan. Kegiatan ini dilakukan setelah mendapatkan data cadangan dan kadar bahan galian. Beberapa aspek yang ditinjau dari studi kelayakan ini adalah, aspek ekonomi, teknologi dan lingkungan. Apabila menguntugkan dilihat dari ketiga aspek tersebut maka kegiatan pertambangan akan dilanjutkan pada perencanaan penambangan, tetapi apabila tidak menguntungkan, maka data eksplorasi akan disimpan sebagai arsip dan tidak dilanjutkan kegiatannya sampai pada suatu saat memungkinkan untuk dilanjutkan.

4. Perencanaan penambangan

Adalah kegiatan yang dilakukan untuk merencanakan secara teknis, ekonomi dan lingkungan kegiatan penambangan, agar dalam pelaksanaan kegiatannya dapat dilakukan dengan baik, aman terhadap lingkungan.

5. Persiapan / Konstruksi

Adalah kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan fasilitas penambangan sebelum operasi penambangan dilakukan. Pekerjaan tersebut seperti pembuatan akses jalan tambang, pelabuhan, perkantoran, bengkel, mes karyawan, fasilitas komunikasi dan pembangkit listrik untuk keperluan kegiatan penambangan., serta fasilitas pengolahan bahan galian.

6. Penambangan

Adalah kegiatan penggalian terhadap bahan tambang yang kemudian untuk dilakukan pengolahan dan penjualan. Pada tahapan ini kegiatannya terdiri dari pembongkaran/penggalian, pemuatan kedalam alat angkut dan pengangkutan ke fasilitas pengolahan maupun langsung dipasarkan apabila tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Kegiatan membutuhkan lahan yang luas dan menggunakan alat-alat mekanis untuk keperluan produksinya. Bukaan lahan bekas tambang nantinya dilakukan reklamasi untuk mengembalikan fungsi lahan sesuai dengan peruntukannya.

7. Pengolahan bahan galian

Pengolahan bahan galian dilakukan untuk memisahkan antara mineral berharga dan mineral tidak berharga sehingga didapatkan mineral berharga dalam kadar yang tinggi.

8. Pemasaran

Setelah didapatkan mineral berharga dalam kadar yang tinggi selanjutnya dapat di pasarkan sebagai bahan dasar untuk industri hilir, seperti industri logam, industri manufaktur dll.

D. Pandangan negative terhadap kegiatan pertambangan

Saat ini banyak pandangan negative yang ditujukan akibat kegiatan pertambangan, seperti kerusakan hutan, pencemaran limbah dll. Pandangan ini tidak semuanya ben